BEBASKAN
MATEMATIKA DARI MITOS
....??? |
Bebaskah Matematika dari mitos ? Jawabannya ternyata tidak. Banyak
mitos yang dilekatkan kepada Matematika, baik oleh siSwati,
mahasiswa, orang tua siSwati/mahasiswa, masyarakat awam, bahkan para
pengajar Matematika sekalipun.
Delapan mitos yang dilekatkan kepada Matematika (Buxton, hal 115,
1981), Matematika dipandang sebagai 1) Ilmu yang sudah tertentu,
tidak dapat diubah-ubah, dan tidak kreatif (atau Matematika adalah
ilmu yang sudah pasti/mate); 2) Abstrak dan tidak berhubungan dengan
realita; 3) Hanya dapat dimengerti oleh sedikit orang; 4) Koleksi
dari hukum dan fakta yang harus diingat; 5) Sangat tidak logis; 6)
Selalu berhubungan dengan kecepatan perhitungan; 7) Sebagai penentu
tingkat intelektual seseorang; dan 8) Sebagian besar berhubungan
dengan perhitungan.
Ada
orang yang mungkin tidak setuju dengan beberapa poin dalam daftar
mitos di atas. Poin 5, misalnya. Tapi kita tidak membahas polemik
seputar kenapa mitosnya seperti demikian. Dalam tulisan ini, penulis
menjelaskan lagi fenomena terbentuknya beberapa mitos di atas, dalam
konteks keadaan negara Indonesia.
Budaya penelitian Matematika di Indonesia belum marak dan masih
sangat muda jika dibandingkan negara-negara barat. Pendidikan tinggi
baru dikenal di bumi nusantara ini setelah didirikannya sekolah
dokter di Batavia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di
Indonesia didirikan setelah kemerdekaan. Berarti tidak ada jurusan
Matematika di Indonesia yang berusia lebih dari 50 tahun. Dalam usia
yang masih sangat muda untuk tumbuh dan berkembangnya budaya
penelitian suatu cabang ilmu pengetahuan, wajar jika budaya tersebut
baru berkisar pada beberapa pakar Matematika Indonesia. Belum
terbentuk link penelitian Matematika dan belum dihasilkan
karya-karya monumental.
Padahal dalam penelitian Matematikalah dapat disaksikan ide-ide
segar dan perjuangan. Matematika diutak-atik demi penyelesaian
masalah. Contoh kreativitas Matematika adalah penyelesaian masalah
Jembatan Konisberg oleh L. Euler. Secara kreatif Euler mengumpamakan
daerah yang terbentuk oleh aliran sungai sebagai titik dan jembatan
yang menghubungkan daerah tersebut sebagai garis. Permasalahannya
bagaimana mencari jalan yang melewati semua daerah dan mencari
lintasan yang melewati semua titik.
Politik pemerintah Indonesia turut mendorong terbentuknya mitos di
atas. Politik teknologi lompat katak atau zig-zag yang pernah
dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru adalah salah satu contohnya.
Demi memacu penguasaan teknologi tinggi, dilakukan upaya meniru,
merakit, dan memoles hasil-hasil yang telah ada. Penelitian dan
hasil-hasil intelektual ilmu-ilmu dasar diabaikan, hanya dijadikan
pemenuh rak-rak perpustakaan.
Politik mobil nasional adalah salah satu contoh konkret politik
pemerintah seperti itu. Jika kita membuat mobil dengan meniru mobil
yang sudah jadi, maka kita tidak memerlukan pembuatan model-model
aerodinamis mobil. Berarti pengetahuan Matematika untuk pembuatan
model-model aerodinamis tidak kita perlukan.
Tidak pernahnya pengajar Matematika melakukan penelitian
mempengaruhi gaya pengajaran. Ia akan memakai sekumpulan rumus
Matematika sebagai rangkaian teori saja dan setiap bagiannya tidak
berhubungan dengan keadaan nyata. SiSwati atau mahasiswa juga akan
mengikuti pengertian pengajarnya. Mereka melihat Matematika sebagai
hal abstrak dan hanya dapat dimengerti oleh sebagian kecil orang
yang dianggap berbakat. Hal lain yang mereka lakukan dengan
menghapalkan Matematika.
Kebanyakan tenaga pengajar berlindung di balik sifat abstrak
Matematika sebagai pembenaran atas ketidakmengertian siSwati atau
mahasiswa. Padahal tidak selalu sifat abstrak Matematika berarti
Matematika tidak berhubungan dengan dunia nyata. Contohnya pada
cabang ilmu Geometri. Bentuk-bentuk geometri seperti empat persegi
panjang atau tetrahedron adalah bentuk geometris yang berguna bagi
bangsa Mesir kuno untuk membuat dam atau piramid. Padahal
bentuk-bentuk tersebut abstrak dan tidak terdapat di alam.
Matematika setua dan seiring dengan peradaban manusia. Sejarah ilmu
pengetahuan menempatkan Matematika pada bagian puncak hierarki ilmu
pengetahuan. Matematika seakan-akan menjadi ratu bagi ilmu
pengetahuan. Peletakan yang demikian menimbulkan mitos bahwa
Matematika adalah penentu tingkat intelektual seseorang. Jika
seseorang tidak mengerti Matematika, maka berarti tidak pintar.
Padahal kepintaran seseorang itu bermacam-macam. Ada yang sangat
jenius dalam bidang sains. Yang lain jenius dalam bidang seni, namun
tidak mengerti Matematika sama sekali.
Mitos yang demikian selanjutnya membentuk mitos-mitos lain. Karena
dianggap sebagai penentu intelektual seseorang, Matematika menjadi
alat standar untuk tes-tes intelektual atau penempatan. Matematika
selalu hadir pada ruang-ruang tes untuk menyeleksi tingkat kemampuan
seseorang. Akibatnya Matematika selalu berhubungan dengan
penyelesaian yang dibatasi waktu dan melibatkan
perhitungan-perhitungan.
Sejarah Matematika membuktikan bahwa banyak persoalan Matematika
yang memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, untuk
dapat diselesaikan. Teorema Terakhir Fermat (TTF), misalnya, perlu
waktu satu abad lebih untuk dapat membuktikannya. Bukti terakhir
untuk TTF itupun masih belum diterima semua kalangan matematikawan.
Bisakah Matematika bebas dari mitos ? Untuk masyarakat Indonesia
saat ini tampaknya tidak. Perlu pergeseran budaya ke arah budaya
meneliti Matematika yang marak dan politik pemerintah yang lebih
menekankan pada penelitian ilmu-ilmu dasar. Sedangkan kita tahu,
sekarang ini urusan perut dan perebutan kursi kekuasaan lebih
menarik perhatian masyarakat dan pemerintah kita.
Hazrul Iswadi: Staf Pengajar
Matematika Ubaya
Gerbang, Suplemen Warta
Ubaya untuk SMU, Edisi 7, Mei 1999
|